yang dicari di blog ini

Sabtu, 15 September 2012

Di Jakarta itu banyak orang maju, mendingan majuin orang-orang kampung aja

Seperti biasa setiap pagi minggu aku menghabiskan waktu dengan gowes. Biasanya aku gowes dengan anak dan istri tapi kali ini aku gowes sendirian. Aku bingung mau kemana, Dari tempatku di Kel. Muncul aku ikuti saja kemana roda sepedaku berputar, akhirnya sepedaku menuntunku ke rumah temen di wilayah Rawakalong, Gunung Sindur, Bogor, setelah berkunjung dari rumah temen aku berkunjung juga ke pesantren yang dulu aku pernah belajar.

Dari pesantren aku langsung pulang ke rumah karena waktu sudah mulai panas, dalam perjalanan pulang tiba-tiba HPku berbunyi dan kuangkat.
"Halo..." sapaku
"Assalamualaikum" Si penelpon
"Waalaikumsalam" jawabku
"Ente dimana sekarang? masih di Al-Inayah?"
(aku pikir si penelpon ini adalah kawanku yang bernama Mulyadi)
"Gue sekarang udah ga tinggal di Pondok Ranji lagi, sekarang gue tinggal di Muncul"
"Muncul dimana?"
"Masih di wilayah Tangerang Mul"
"Sebelah mana?"
(aku sempet berpikir ini siapa ya...)
"Maaf ini siapa ya?"
"Ini Ust. Rahmat, ente yang dulu pernah di Annajah Bekasi kan?"
"Ust. Rahmat yang mana? seinget saya dulu saya pernah diajar di Darunnajah oleh Ust. Rahmat, apa ini bener ust. Rahmat?"
"Iya bener"
"Oh maaf ustadz saya pikir Mulyadi"
"Ohhh gpp, antum udah bosen belum hidup di Jakarta?"
"Maksudnya taz?"
"Gini... di Jakarta itu kan orang maju itu sudah banyak, mendingan antum majukan kampung kita dengan keahlian yang kita miliki"
"Iya sih taz, masalahnya masih banyak tanggungan yang saya harus selesaikan, dari kuliah saya, keluarga, belum lagi dengan kerjaan saya saat ini."
"Atau kalo antum punya referensi yang bisa komputer, tawarkan aja untuk ngabdi di pesantren"
"Ok taz, insya Allah saya usahain cari-cari"
..................
...................

Selasa, 31 Juli 2012

Coretan si Perantau 2

Lanjutan dari Coretan si Perantau
Petualanganku bermula saat aku mulai berumur 7 tahun atau ketika aku masih duduk di kelas 1 SD dan akan naik ke kelas 2 SD.

Rabu, 25 Juli 2012

Jumlah Rakaat Sholat Tarawih

Sobat CSP yang insya Allah dirahmati Allah, sebelumnya saya membahas tentang sejarah sholat tarawih, sekarang insya Allah kita bersama-sama belajar tentang jumlah rakaat dalam sholat tarawih.
Seperti kita ketahui bersama yang terjadi di masyarakat ada yang melaksanakan sholat tarawih 8 rakaat + witr 3 rakaat, dan adapula 20 rakaat + witr 3 rakaat.
Semua yang mengerjakan itu benar, karena mempunyai dasar masing-masing. Berikut ini penjelasannya:

Pertama: Yang paling utama adalah 20 rakaat,ditambah dengan 1 rakaat atau 3 rakaat witir sesudahnya. Ini pendapat ats-Tsauri, Ibnul Mubarak, al-Hanafiyyah (pengikut imam Abu Hanifah), dan al-Malikiyyah dalam pendapat mereka yang diandalkan, asy-Syafi’iyyah, al-Hanabilah (pengikut Imam Ahmad), Daud az-Zhahiri dan yang dipilih oleh Syekh Muhammad ibn Abdul Wahhab. Dasarnya adalah praktek para sahabat di masa khulafaur Rasyidin, yang terus berlanjut hingga hari ini. (Lihat: Majmu’ Fatawa Ibn Taimiah, 23/112-113; Syarhus Sunnah, 4/123; Fathul Qadir, 1/466-468; al-Majmu’, 4/13, 32; Muallafat Syekh Munammad ibn Abdul Wahhab; dll)

Kedua: Yang paling utama adalah 11 rakaat ( 8 rakaat ditambah 3 witir). Ini madzhab al-Bukhari, dan dari kalangan Syafi’iyah: Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hajar, as-Suyuthi dan al-Haitami, dan dipilih oleh al-Mubarakfuri, Abdul Aziz Ibn Baz, Muhammad Ibn Shalih al-Utsaimin, Muhammad Nashiruddin al-Albani dan lain-lain. Dasarnya adalah shalat Rasulullah Sholallohu `alaihi wa sallam . (Lihat:Syarh Ma’anil Atsar, 1/336; Fathul Bari, 4/254; 3/12; al-Mashabih fi Shalatit Tarawih, 35-36; Tuhfatul Ahwadzi, 3/523; Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, 11/323; Syarhul Mumti’, 4/68 dll)

Ketiga: Yang paling utama adalah 36 rakaat atau lebih. Pengikut madzhab ini berselisih: Malikiyyah dalam satu pendapat memilih 39 rakaat dengan witirnya. Ishaq ibn Rahawaih—rival Ahmad ibn Hanbal, hafizh mujtahid, tsiqah, wafat 238 H– memilih 41 rakaat, sedang al-Aswad ibn Yazid—seorang tabi’in yang wafat tahun 74 atau 75 H– memilih 49 rakaat. Dasar 36 rakaat adalah praktek shalat tarawih di Madinah pada zaman Umar ibn Abdul Aziz dan Aban Ibn Usman—seorang tabi’in, tsiqh, wafat tahun 105 H–. Al-Baji mengatakan: “Inilah amalan para imam dan yang disepakati oleh pendapat jamaah, maka ia lebih utama karena meringankan. (Lihat: al-Istidzkar, 5/157; Mushannaf Ibn Abi Syaibah, 2/393; Fathul Bari, 4/253; al-Mudawwanah al-Kubra, 1/222; dll)

Bilangan Yang Paling Utama Pada Zaman Ini

Sudah menjadi maklum bahwa inti dan tujuan disyariatkannya shalat adalah untuk berdzikir mengingat Allah. Allah berfiman:

“Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.” (QS. Thaha: 14)

Dan shalat yang terbaik secara zhahir adalah yang paling panjang bacaannya, paling lama berdirinya. Rasulullah Sholallohu `alaihi wa sallam bersabda:

أَفْضَلُ الصَّلَاةِ طُوْلُ اْلُقنُوْتِ
“Sebaik-baik shalat adalah yang panjang berdirinya.” (HR Muslim dari Jabir Rohimahulloh , 756)

Dalam riwayat Abdullah ibn Khunais al-Khas’ami:

أفضل الصلاة طول القيام
“Sebaik-baik shalat adalah yang panjang berdirinya.” (HR. al-Muntaqa syarah Muwaththa’ 1/209: Mukhtshar Qiyam al-Lail wa Qiyam Ramadhan, 55).

Dengan demikian, yang terpenting dalam shalat tarawih dan lainnya adalah menjaga kesempurnaannya, kekhisyu’an, perenungan dan doa di dalamnya. Jika lama waktu mengerjakannya antara 11 rakaat dan 23 rakaat adalah sama, maka 11 rakaat lebih baik. Pokoknya bilangan mana saja yang yang waktu pelaksanaannya lebih lama dari yang lain, tanpa adanya keberatan dari jamaah maka itu yang lebih utama bagi jamaah. Akan tetapi karena kondisi umat islam telah berubah pada jaman ini, dimana rasa malas beribadah menyerang mereka, kesibukan dan aktivitas duniawi semakin bertambah, diantara mereka ada para buruh dan paqra pegawai rumah sakit dan perusahaan-perusahaaan yang yang bekerja di malam hari atau di pagi yang buta, juga para mahasiswa dan para dosen yang aktif dalam kegiatan belajar-mengajar atau ujian , maka hal itu tidak lagi memungkinkan bagi mereka untuk melakukan shalat tarawih seperti Rasulullah Sholallohu `alaihi wa sallam dan para sahabatnya, apakah itu dengan 11 rakaat aalagi dengan 23 rakaat.

Oleh karena itulah ,apakah yang paling utama pada jaman ini mengerjakan tarawih dengan 11 rakaat, dengan lama waktu yang lebih ringan dari tarawih Rasul Sholallohu `alaihi wa sallam dan para sahabatnya, ataukah dengan 23 rakaat yang juga diperingan?

Menurut DR. Abdur Rahim ibn Ibrahim al-Hasyim bahwa yang nampak jelas adalah: menegakkan tarawih dengan 11 rakaat ringan dengan menjaga kesempurnaannya dan kekhusy’annya lebih baik daripada 23 rakaat yang dilakukan dengan mutu yang sama. Karena mengerjakan 23 rakaat ringan dengan menjaga kesempurnaan dan menikmatinya adalah jarang dan langka, disamping memberatkan banyak imam dan banyak jamaah . Ibnu Mas’ud Rohimahulloh meriwayatkan bahwa seseorang berkata : Demi Allah , wahai Rasul Allah, sesungguhnya saya sengaja tidak menghadiri jamah subuh karena imamnya memperpanjang shalat.” Maka saya tidak pernah melihat rasulullah Sholallohu `alaihi wa sallam dalam satu mau’izhah yang lebih murka daripadanya. Kemudian beliau bersabda:

إِنَّ مِنْكُمْ مُنَفِّرِيْنَ فَأَيُّكُمْ صَلَّى بِالنَّاسِ فَلْيَتَجَوَّزْ فَإِنَّ فِيْهِمُ الضَّعِيْفَ وَالْكَبِيْرَ وَذَا الْحَاجَةِ

“Sesungguhnya diantara kalian ada yang membuat lari jamaah. Maka siapa diantara kalian yang menjadi imam hendaklah mempercepat shalatnya, karena di tengah mereka ada yang lemah, lanjut usia, dan orang yang memiliki keperluan.” (HR. Bukhari, 702)

Dari Abu Hurairah Rohimahulloh , Rasulullah Sholallohu `alaihi wa sallam bersabda:


إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ لِلَّناسِ فَلْيُخَفِّفْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ الضَّعِيْفُ وَالسَّقِيْمُ وَالْكَبِيْرُ وَإِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ لِنَفْسِهِ فَلْيُطَوِّلْ مَا شَاءَ
“Apabila salah seorang kamu memimpin shalat maka ringankanlah, karena ditengah mereka ada yang lemah, sakit, dan lanjut usia. Dan apanila shalat untuk dirinya maka panjangkanlah sesukanya.” (HR.Bukhari, 703)

Abu Daud berkata: “Pernah imam Ahmad ditanya tentang seseorang yang membaca al-Qur’an khatam dua kali di bulan Ramadhan ketika dia menjadi imam. Maka beliau menjawab: “Ini menurut saya sesuai dengan kadar semangat jamaah, karena di tengah-tengah mereka ada para pekerja.” (Mukhtashar Qiyamullail Wa Qiyam Ramadhan, 97)

Dalam kenyataan di masyarakat kita saksikan bahwa orang yang shalat tarawih 23 rakaat namak merasa keberatan, oleh karena itulah setelah berjalan seminggu jumlah jamaah turun drastic, atau gerakan shalat semakin dipercepat agar cepat selesai. Tidak bisa dipungkiri bahwa jumlah orang yang ingin agar shalat cepat selesai adalah sangat banyak, oleh karena itu baik imam maupun makmum seakan-akan telah sepakat untuk mempercepat gerakan shalat tarawih sampai mirip gerakan senam. Mereka tidak peduli lagi dengan rukun-rukun dan sunnah shalat, yang penting cepat selesai. Bahkan untuk menarik minat jama’ah beberapa masjid atau mushalla berlomba adu kecepatan dalam merampungkan shalat, siapa yang tercepat itulah yang diminati oleh jama’ah. Dengan demikian fungsi shalat yang untuk mengingat Allah itu akhirnya berubah menjadi tradisi ritual yang tidak bermakna. Hal ini berbeda jikalau dilaksanakan sebanyak 11 rakaat, yang nampak lebih menikmati shalat dan bermakna.

Akan tetapi Jika 23 rakaat dilakukan dengan penuh kekhusyu’an berdasarkan ridha semua jamaah, dalam waktu yang lebih lama dari yang 11 rakaat, maka pada kondisi seperti ini tarawih 23 rakaat lebih utama. Inilah yang menjadi motivasi para sahabat Nabi Sholallohu `alaihi wa sallam saat melakukan tarawih 20 rakaat, karena ketidak mampuan mereka untuk melakukan 11 rakaat panjang-panjang.

Imam Syafi’I berkata: “Dalam masalah ini tidak ada kesempitan, tidak ada batasan akhir, karena ia adalah nafilah (tambahan dari shalat wajib). Jika mereka memperpanjang bacaan dan menyedikitkan jumlah sujud maka baik dan lebih saya sukai. Jika mereka memperbanyak rukuk dan sujud maka juga baik.” (Mukhtashar Qiyamullail wa Qiyam Ramadhan, 96)

Oleh karena itu, kami menghimbau agar para imam dan para jamaah saling tolong menolong dan bertakwa kepada Allah dalam shalat tarawih mereka. Hendaklah melakukannya dengan penuh keimanan dan keinginan kuat untuk mendapatkan ridha Allah, memperhatikan rukun, syarat, dan sunnah shalat, menikmati bacaan-bacaan shalat demi mewujudkan firman Allah: ” Dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku” Dan untuk melaksanakan sabda Nabi Sholallohu `alaihi wa sallam :

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barang siapa melakukan shalat tarawih karena iman dan mencari pahala Allah, maka diampuni apa yang telah lalu dari dosa-dosanya. (HR. Bukhari, 37, 1904, 1905; Muslim, 759)

Semoga kita dapat menikmati Ramadhan ini dan mendapatkan semua kebaikannya. Amin.

(Sumber: Agus Hasan Bashori, Shalat Tarawih Nabi Sholallohu `alaihi wa sallam dan Salafus Shaleh, Majalah as-Sunnah Edisi 07/Tahun VII/1424H/2003M, halaman 26-32; DR. Abdur Rahim ibn Ibrahim as-Sayyid al-Hasyim, Hukm at-Tarawih waz-Ziyadah Fiha ‘Ala Ihda “Asyrata Rak’ah, Dar ibnul Jauzi, cet. I, 1426) Malang, 25-8-2006.

reference: 

Sejarah Sholat Tarawih


Gimana puasanya sampai hari ke-6 ini sob???
Mudah-mudahan belum ada yang bolong ya sampai ketemu hari raya nanti. Amin.
Kali ini saya sempatkan untuk menulis sejarah tentang sholat tarawih yang mungkin banyak dari sobat CSP sudah pada tahu, tapi tak mengapa, ini sekedar berbagi pengetahuan tentang keislaman kita, semoga menjadi catatan amal baik di sisi Allah SWT. Amin.

Penjelasan singkat tentang Tarawih dan manfaat untuk kesehatan.

Tarawih asal katanya raaha-yaroohu yang artinya istirahat, makanya sholat tarawih dianggap sebagai istirahat kita setelah melakukan aktivitas seharian, ini istirahat menurut Islam, istirahat tidak selalu diam atau tidur tapi istirahat menurut Islam adalah berpindahnya satu pekerjaan ke pekerjaan lain. Sedangkan sholat sendiri dianggap sebagai istirahat paling menyehatkan, karena di dalamnya termasuk gerakan-gerakan senam yang sangat dibutuhkan oleh tubuh kita.

Kembali ke makna tarawih. Sholat tarawih disebut juga qiyamul lail atau qiyamu ramadhan, karena sholat tersebut dilaksanakan pada malam-malam di bulan Ramadhan.


Sejarah sholat Tarawih

Perbedaan pendapat mengenai tatacara pelaksanaan tarawih memang cukup banyak. Mulai dari perbedaan jumlah rakaatnya, bacaan-bacaannya, bahkan ada sebagian yang masih berselisih tentang syariatnya ketika sholat tarawih dikerjakan berjamaah atau munfarid.

Setiap sholat sunah punya aturan sendiri-sendiri, termasuk dalam hal apakah dilakukan berjamaah atau tidak. Sebagian sholat sunnah harus dikerjakan dengan berjamaah, seperti sholat Idul Fitri, sholat Idul Adha, sholat Istisqa, shlat khusuf, dan sholat kusuf.

Sebagian lainnya tidak diutamakan untuk dikerjakan secara berjamaah, misal, sunah rawatib qabliyah dan ba'diyah, sholat tahiyatul masjid, sholat dhuha, sholat lail, dan seterusnya. Sholat-sholat ini dahulu dilakukan oleh Rasulullah saw dengan sendirian (munfarid) tidak dengan berjamaah.
Namun adapula sebagian shlat yang boleh saja dikerjakan sendiri ataupun berjamaah, misal: sholat malam, sholat dhuha, dan tasbih.

Lantas sholat tarawih masuk golongan sholat sunah yang mana? apakah masuk golongan sholat sunah yang disyariatkan berjamaah atau sendiri atau boleh kedua-duanya????

Sebelum kita menarik kesimpulan tentang masalah ini, baiknya baiknya sejenak kita menymak kembali sejarah tarawih di zaman Rasulullah saw dan para sahabat radhiyallahu anhum.

Shalat Tarawih di zaman Nabi dan Shahabat
Imam Al-Bukhari dan Muslim dalam Shahihain meriwayatkan hadis dari Aisyah RA bahwa pada suatu malam di bulan Ramadan, Rasulullah SAW keluar menuju masjid untuk mendirikan shalat malam. Lalu datanglah beberapa sahabat dan bermakmum di belakang beliau. Ketika Shubuh tiba, orang-orang berbincang-bincang mengenai hal tersebut. Pada malam selanjutnya, jumlah jamaah semakin bertambah daripada sebelumnya. Demikianlah seterusnya pada malam-malam berikutnya. Hal itu berlanjut hingga tiga malam.

Pada malam keempat, masjid menjadi sesak dan tak mampu menampung seluruh jamaah. Namun Rasulullah SAW tak kunjung keluar dari kamarnya. Hingga fajar menyingsing, Rasulullah SAW baru keluar untuk menunaikan shalat Shubuh. Selepas itu beliau berkhutbah,

"Amma Ba'd. Saya telah mengetahui kejadian semalam. Akan tetapi saya khawatir shalat itu akan diwajibkan atas kalian sehingga kalian tidak mampu melakukannya."

Untuk selanjutnya shalat Tarawih tidak dikerjakan secara berjama’ah. Kondisi seperti ini berjalan hingga Rasulullah SAW wafat, masa pemerintahan khalifah Abu Bakar dan awal pemerintahan sayyidina Umar.

Barulah setelah berjalan beberapa waktu, khalifah Umar bin Al-Khattab ra. Memerintahkan agar shalat Tarawih dikerjakan secara berjama’ah.

Jika ada pertanyaan, mengapa Khalifah Abu Bakar tidak memerintahkan kaum muslimin mengerjakan Tarawih secara berjamah ? Analisanya adalah bahwa masa khilafah Abu Bakar tidak berlangsung lama, hanya sekitar 2 tahun saja. Sedangan dimasa itu pula kaum muslimin mengalami berbagai fitnah dan cobaan. Misalnya kasus murtadnya berbagai dari suku-suku arab. Sementara itu kaum muslimin saat itu sedang menghadapi peperangan besar melawan Romawi. Tentu mereka sibuk mempersiapkan peperangan besar.

Demikian pula pada masa kekhalifahan Abu Bakar ra. dan awal kekhalifahan Umar bin Khattab. Baru kemudian pada tahun ke-4 Hijriah, Khalifah Umar berinisiatif untuk menjadikan shalat tersebut berjamaah dengan satu imam di masjid. Beliau menunjuk Ubay bin Kaab sebagai imamnya. Khalifah Umar lalu berkata, "Sebaik-baik bid'ah adalah ini." (HR. Al-Bukhari)

Imam Abu Yusuf pernah bertanya kepada gurunya, Imam Abu Hanifah, tentang shalat tarawih dan apa yang diperbuat oleh Khalifah Umar. Imam Abu Hanifah menjawab, "Tarawih itu sunnah muakkadah. Umar tidak pernah membuat-buat perkara baru dari dirinya sendiri dan beliau bukan seorang pembuat bid'ah. Beliau tak pernah memerintahkan sesuatu kecuali berdasarkan dalil dari dirinya dan sesuai dengan masa Rasulullah SAW. Umar telah menghidupkan sunnah ini lalu mengumpulkan orang-orang pada Ubay bin Kaab lalu menunaikan shalat itu secara berjamaah, sementara jumlah para sahabat sangat melimpah, baik dari kalangan Muhajirin maupun Anshar, dan tak satu pun yang mengingkari hal itu. Bahkan mereka semua sepakat dan memerintahkan hal yang sama."

Mana yang lebih utama mengerjakan Tarawih secara berjama’ah atau sendiri

Bila kita analisa, sebab kenapa Rasulullah Saw meninggalkan mengerjakan shalat Tarawih secara berjama’ah adalah karena khawatir hal tersebut akan di wajibkan atas umatnya. Maka sepeninggal beliau tentu kekhawatiran ini tidak ada lagi, hal inilah yang kemudian menyebabkan khalifah Umar mengambil insiatif agar sunnah berjama’ah Tarawih dihidupkan kembali. Dan ternyata apa yang dilakukan oleh khalifah Umar ra, disetujui dengan suara bulat oleh seluruh shahabat. Tidak ada riwayat yang menyebutkan bahwa ada satu shahabat yang menentang kebijakan khalifah Umar ketika itu. Maka dengan sendirinya dikatakan bahwa shalat Tarawih dengan berjamaah merupakan ijma' para shahabat. Dan ijma' merupakan salah satu sumber syariah yang disepakati.

Dan sejak hari itu hingga saat ini, shalat tarawih berjamaah terus berlangsung tiap malam Ramadhan di masjid Nabawi Madinah, dan juga di semua masjid yang ada di muka bumi. Seluruh ulama baik salaf maupun khalaf sepakat atas disyariatkannya shalat tarawih berjamaah di belakang satu imam, karena seperti itulah yang awal mula dikerjakan oleh Nabi SAW.

Para ahlu fiqih secara jumhur bersepakat menarik kesimpulan tidak berjamaahnya Nabi Saw dalam shalat Tarawih bukan bersifat menasakh hukum kesunnahan Tarawih berjamaah. Tetapi memberi dasar hukum kebolehan shalat Tarawih dilakukan tidak berjamaah karena adanya alasan tertentu. Meskipun yang lebih utama adalah dikerjakan secara berjama’ah. Wallahu’alam bis Shawwab.


Hukum Sholat Tarawih
Menurut Imam An-Nawawi rahimahullahu, yang dimaksud dengan qiyamu Ramadhan adalah shalat Tarawih dan ulama telah bersepakat bahwa shalat Tarawih hukumnya mustahab (sunnah). (Syarh Shahih Muslim [6/282]). Dan beliau menyatakan pula tentang kesepakatan para ulama tentang sunnahnya hukum shalat Tarawih ini dalam Syarh Shahih Muslim [5/140] dan Al-Majmu’ [3/526].Al-Hafizh Ibn Hajar rahimahullahu memperjelas kembali tentang hal tersebut: “Maksudnya bahwa qiyamu Ramadhan dapat diperoleh dengan melaksanakan shalat Tarawih dan bukanlah yang dimaksud dengan qiyamu Ramadhan hanya diperoleh dengan melaksanakan shalat Tarawih saja (dan meniadakan amalan lainnya).” (Fathul Bari [4/295]).

Bahkan menurut ulama Hanafiyah, Hanabilah, dan Malikiyyah, hukum shalat Tarawih adalah sunnah mu’akkad (sangat dianjurkan). Shalat ini dianjurkan bagi laki-laki dan perempuan.



Jumlah Rakaat sholat Tarawih


reference:
http://islamicenterponorogo.wordpress.com/2011/07/28/variasi-bilangan-shalat-tarawih-dalam-sejarah/
http://duniatehnikku.wordpress.com/2011/07/31/sejarah-keutamaan-dan-tata-cara-shalat-tarawih/
http://ad-dai.blogspot.com/2010/08/hukum-shalat-tarawih-berjamaah.html

Jumat, 20 Juli 2012

5 TIPE KARYAWAN DI KANTOR


5 Tipe Karyawan di Kantor Kita
oleh: K.H. Abdullah Gymnastiar

Pengklasifikasian karyawan dan pejabat kantor ini diekati dengan istilah hukum yang digunakan dalam agama Islam. Pendekatan ini samasekali bukan untuk mencampuradukkan atau merendahkan nilai istilah hukum tersebut, melainkan hanya sekedar guna mempermudah pemahaman kita karenamakna dari istilah hukum tersebut sangat sederhana dan akrab bagi kita. Mudah-mudahan bisa jadi cara yang praktis untuk mengukur dan menilai diri sendiri.
(Ide dasar ini diambil dari pendapat Emha Ainun Najib)

1. Karyawan / Pejabat "Wajib"
Tipe karyawan atau pejabat wajib ini memiliki ciri : keberadaannya sangat disukai, dibutuhkan, harus ada sehingga ketiadaannya sangat dirasakan kehilangan.
  • Dia sangat disukai karena pribadinya sangat mengesankan, wajahnya yang selalu bersih, cerah dengan senyum tulus yang dapat membahagiaan siapapun yang berjumpa dengannya.
  • Tutur katanya yang sopan tak pernah melukai siapapun yang mendengarnya, bahkan pembicaraannya sangat bijak, menjadi penyejuk bagi hati yang gersang, penuntun bagi yang tersesat, perintahnya tak dirasakan sebagai suruhan, orang merasa terhormat dan bahagia untuk memenuhi harapannya tanpa rasa tertekan.
  • Akhlaknya sangat mulia, membuat setiap orang meraskan bahagia dan senang dengan kehadirannya, dia sangat menghargai hak-hak dan pendapat orang lain, setiap orang akan merasa aman dan nyaman serta mendapat manfaat dengan keberadaannya
2. Karyawan / Pejabat "Sunnah"
Ciri dari karyawan/pejabat tipe ini adalah : kehadiran dan keberadaannya memang menyenangkan, tapi ketiadaannya tidak terasa kehilangan..
Kelompok ini hampir mirip dengan sebagian yang telah diuraikan, berprestasi, etos kerjanya baik, pribadinya menyenangkan hanya saja ketika tiada, lingkungannya tidak merasa kehilangan, kenangannya tidak begitu mendalam.
Andai saja kelompok kedua ini lebih berilmu dan bertekad mempersembahkan yang terbaik dari kehidupannya dengan tulus dan sungguh-sungguh, niscaya dia akan naik peringkatnya ke golongan yang lebih atas, yang lebih utama.

3. Karyawan / Pejabat "Mubah"
Ciri khas karyawan atau pejabat tipe ini adalah : ada dan tiadanya sama saja.
Sungguh menyedihkan memang menjadi manusia mubadzir seperti ini, kehadirannya tak membawa arti apapun baik manfaat maupun mudharat, dan kepergiannya pun tak terasa kehilangan.
Karyawan tipe ini adalah orang yang tidak mempunyai motivasi, asal-asalan saja, asal kerja, asal ada, tidak memikirkan kualitas, prestasi, kemajuan, perbaikan dan hal produktiflainnya. Sehingga kehidupannya pun tidak menarik, datar-datar saja.
Sungguh menyedihkan memang jika hidup yang sekali-kalinya ini tak bermakna. Harus segera dipelajari latar belakang dan penyebabnya, andaikata bisa dimotivasi dengan kursus, pelatihan, rotasi kerja, mudah-mudahan bisa meningkat semangatnya.

4. Karyawan / Pejabat "Makruh"
Ciri dari karyawan dan pejabat kelompok ini adalah : adanya menimbulkan masalah tiadanya tidak menjadi masalah.
Bila dia ada di kantor akan mengganggu kinerja dan suasana walaupun tidak sampai menimbulkan kerugian besar, setidaknya membuat suasana tidak nyaman dan kenyamanan kerjaserta kinerja yang baik dapat terwujud bila ia tidak ada.
Misalkan dari penampilan dan kebersihan badannya mengganggu, kalau bicara banyak kesia-siaan, kalau diberi tugas dan pekerjaan selain tidak tuntas, tidak memuaskan juga mengganggu kinerja karyawan lainnya.

5. Karyawan / Pejabat "Haram"
Ciri khas dari kelompok ini adalah : kehadirannya sangat merugikan dan ketiadaannya sangat diharapkan karena menguntungkan.
Orang tipe ini adalah manusia termalang dan terhina karena sangat dirindukan "ketiadaannya". Tentu saja semua ini adalah karena buah perilakunya sendiri, tiada perbuatan yang tidak kembali kepada dirinya sendiri.
Akhlaknya sangat buruk bagai penyakit kronis yang bisa menjalar. Sering memfinah, mengadu domba, suka membual, tidak amanah, serakah, tamak, sangat tidak disiplin, pekerjaannya tidak pernah jelas ujungnya, bukan menyelesaikan pekerjaan malah sebaliknya menjadi pembuat masalah. Pendek kata di adalah "trouble maker".
Silahkan anda renungkan, kita termasuk kategori yang mana...?
Semoga semua ini menjadi bahan renungan agar hidup yang hanya sekali ini kita bisa merobah diri dan mempersembahkan yang terbaik dan yang bermanfaat bagi dunia dan akhirat nanti. Jadilah manusia yang "wajib ada". Semoga!

Coretan si Perantau

Kenapa aku namain blog ini sebagai Coretan Si Perantau atau disingkat menjadi CSP ???
Seperti namanya, aku memang si perantau dari Cirebon, walaupun merantaunya masih satu pulau, tetep aja namanya perantau. Hehehe....

Memang... aku meninggalkan kampung halaman sebuah desa di Cirebon pada saat aku masih menginjak kelas 2 SD, walaupun tempat yang aku tuju saat itu masih dalam satu kota di Cirebon tapi tetep aja aku bilang merantau. Hehehe....

Saat itu, aku masih duduk di kelas 1 mau naik ke kelas 2 SD, aku meninggalkan kampung halamanku bersama kakakku saat itu beliau masih duduk di kelas 5 naik ke kelas 6 SD. Kami hanya berdua saja meninggalkan kampung halaman menuju suatu tempat yang bisa dibilang tempat itu namanya "Penjara Suci".

Lalu, kemana kedua orang tuaku???
Kebetulan aku dan kedua saudaraku ditakdirkan oleh Allah SWT untuk menjadi yatim piatu. Saat ditinggal oleh kedua orang tuaku aku belum sekolah, adikku masih balita, kakakku masih kelas 4 SD. Kami 3 laki-laki bersaudara yang sedari kecil sudah menjadi yatim piatu dan tentunya sampai saat ini. (Kalo sekarang 3 boys itu sudah memiliki pendamping hidup masing-masing, 2 di antaranya termasuk aku sudah memiliki buah hati) Alhamdulillah ya....

Sob.... kayaknya cerita ini bakalan bersambung deh, soalnya dah mulai ngantuk nih, maklum abis tarawih perdana, pokoknya baca terus sob kisah nyata petualangan si perantau, dari seorang yatim piatu dari sebuah desa hingga mengenal blog dan mampu menulis di blog CSP ini.

Bersambung ke Coretan si Perantau 2

Kamis, 19 Juli 2012

Apa itu Rukyat dan Hisab?

Yah..... Ramadhan diundur lagi deh! sesaat terlintas kata-kata seperti itu setelah mendengar keputusan sidang isbat di Kementerian Agama RI. Karena pemerintah dalam hal ini Menteri Agama memutuskan awal Ramadhan jatuh pada tanggal 21 Juli 2012 pada hari sabtu esok nanti. 

Ya... aku sih ikut keputusan pemerintah aja, walaupun pada dasarnya aku lebih yakin awal Ramadhan jatuh pada hari ini 20 Juli 2012 dengan alasan karena kebersamaan dan persatuan. Ya terang aja kalo aku ikut puasa hari ini gak ada temennya. Hehehe....

Kembali ke masalah hisab dan rukyat, 
اختلاف أمتي رحمة
Perbedaan umatku adalah Ramhat (al-Hadits)

Rasulullah saw jauh-jauh hari sudah mengatakan seperti itu, sehingga perbedaan-perbedaan yang ada hendaknya bukan dijadikan kesenjangan melainkan untuk saling mengisi satu sama lain. 

Beberapa aliran-aliran dalam Islam atau ormas-ormas Islam dalam menentukan awal bulan Hijriyah ada yang menggunakan metode hisab dan rukyah. 
Metode hisab seperti yang digunakan oleh Muhammadiyah, berasal dari bahasa Arab yaitu hasaba-yahsibu yang berarti menghitung, dengan mashdar dari hasaba adalah hisaab yang berarti perhitungan. 

 Dalam dunia Islam istilah hisab sering digunakan dalam ilmu falak (astronomi) untuk memperkirakan posisi Matahari dan bulan terhadap bumi. Posisi Matahari menjadi penting karena menjadi patokan umat Islam dalam menentukan masuknya waktu salat. Sementara posisi bulan diperkirakan untuk mengetahui terjadinya hilal sebagai penanda masuknya periode bulan baru dalam kalender Hijriyah. Hal ini penting terutama untuk menentukan awal Ramadhan saat muslim mulai berpuasa, awal Syawal (Idul Fithri), serta awal Dzulhijjahsaat jamaah haji wukuf di Arafah (9 Dzulhijjah) dan Idul Adha (10 Dzulhijjah).
Dalam Al-Qur'an surat Yunus (10) ayat 5 dikatakan bahwa Allah memang sengaja menjadikan Matahari dan bulan sebagai alat menghitung tahun dan perhitungan lainnya. Juga dalam Surat Ar-Rahman (55) ayat 5 disebutkan bahwa Matahari dan bulan beredar menurut perhitungan.
Karena ibadah-ibadah dalam Islam terkait langsung dengan posisi benda-benda langit (khususnya Matahari dan bulan) maka sejak awal peradaban Islam menaruh perhatian besar terhadap astronomi. Astronom muslim ternama yang telah mengembangkan metode hisab modern adalah Al Biruni (973-1048 M), Ibnu TariqAl KhawarizmiAl Batani, dan Habash.
Dewasa ini, metode hisab telah menggunakan komputer dengan tingkat presisi dan akurasi yang tinggi. Berbagai perangkat lunak (software) yang praktis juga telah ada. Hisab seringkali digunakan sebelum rukyat dilakukan. Salah satu hasil hisab adalah penentuan kapan ijtimak terjadi, yaitu saat Matahari, bulan, dan bumi berada dalam posisi sebidang atau disebut pula konjungsi geosentris. Konjungsi geosentris terjadi pada saat matahari dan bulan berada di posisi bujur langit yang sama jika diamati dari bumi. Ijtimak terjadi 29,531 hari sekali, atau disebut pula satu periode sinodik.

Sedangkan metode Rukyah yang selama ini dipakai oleh NU, berasal dari bahasa Arab yaitu ro-a-yaroo yang berarti melihat dengan mata, dengan mashdar ru-yatan/ru'yah artinya penglihatan. yakni melihat penampakan bulan sabit yang pertama kali tampak setelah terjadinya ijtimak. Rukyat dapat dilakukan dengan mata telanjang, atau dengan alat bantu optik seperti teleskop.
Aktivitas rukyat dilakukan pada saat menjelang terbenamnya Matahari pertama kali setelah ijtimak (pada waktu ini, posisi Bulan berada di ufuk barat, dan Bulan terbenam sesaat setelah terbenamnya Matahari). Apabila hilal terlihat, maka pada petang (Maghrib) waktu setempat telah memasuki tanggal 1.
Namun demikian, tidak selamanya hilal dapat terlihat. Jika selang waktu antara ijtimak dengan terbenamnya Matahari terlalu pendek, maka secara ilmiah/teori hilal mustahil terlihat, karena iluminasi cahaya Bulan masih terlalu suram dibandingkan dengan "cahaya langit" sekitarnya. Kriteria Danjon (1932, 1936) menyebutkan bahwa hilal dapat terlihat tanpa alat bantu jika minimal jarak sudut (arc of light) antara Bulan-Matahari sebesar 7 derajat. [1]
Dewasa ini rukyat juga dilakukan dengan menggunakan peralatan canggih seperti teleskop yang dilengkapi CCD Imaging. namun tentunya perlu dilihat lagi bagaimana penerapan kedua ilmu tersebut.

Perbedaan Kriteria

Metode penentuan kriteria penentuan awal Bulan Kalender Hijriyah yang berbeda seringkali menyebabkan perbedaan penentuan awal bulan, yang berakibat adanya perbedaan hari melaksanakan ibadah seperti puasa Ramadhan atau Hari Raya Idul Fitri.
Di Indonesia, perbedaan tersebut pernah terjadi beberapa kali. Pada tahun 1992 (1412 H), ada yang berhari raya Jumat (3 April) mengikuti Arab Saudi, yang Sabtu (4 April) sesuai hasil rukyat NU, dan ada pula yang Minggu (5 April) mendasarkan pada Imkanur Rukyat. Penetapan awal Syawal juga pernah mengalami perbedaan pendapat pada tahun 1993 dan 1994.Pada tahun 2011 juga terjadi perbedaan yang menarik. Dalam kalender resmi Indonesia sudah tercetak bahwa awal Syawal adalah 30 Agustus 2011. Tetapi sidang isbat memutuskan awal Syawal berubah menjadi 31 Agustus 2011. Sementara itu, Muhammadiyah tetap pada pendirian semula awal Syawal jatuh pada 30 Agustus 2011. Hal yang sama terjadi pada tahun 2012, dimana awal bulan Ramadhan ditetapkan Muhammadiyah tanggal 20 Juli 2012, sedangkan sidang isbat menentukan awal bulan Ramadhan jatuh pada tanggal 21 Juli 2012. Namun demikian, Pemerintah Indonesia mengkampanyekan bahwa perbedaan tersebut hendaknya tidak dijadikan persoalan, tergantung pada keyakinan dan kemantapan masing-masing, serta mengedepankan toleransi terhadap suatu perbedaan.
Source: http://id.wikipedia.org/wiki/Hisab_dan_rukyat